Jakarta (Pinmas)
Pemerintah akan menyetarakan pondok pesantren (ponpes) dengan lembaga pendidikan umum. Dengan demikian, ijazah yang diperoleh alumni ponpes dapat diakui dan digunakan di lembaga pendidikan umum ataupun dunia kerja.
Hal tersebut dikemukakan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Muhammad Nuh, Rabu (16/2). "Kalau dilihat pada Undang-Undang Sisdiknas, namanya pendidikan itu ada umum dan keagamaan dan masuk dalam rumah besar sistem pendidikan nasional. Akan tetapi, kenyataan di lapangan sering terjadi diskriminasi."
Diskriminasi itu, menurutnya, terjadi ketika lulusan pesantren yang sudah bertahun-tahun mendapat pendidikan, tak bisa disetarakan dengan pendidikan umum. Hal ini terjadi karena pendidikan keagamaan belum memiliki standar atau standardisasi. "Kalau lulus pesantren tidak punya ijazah mau disetarakan dengan apa, SD, SMP, atau SMA?`` katanya.
Karena itu, pemerintah akan menyiapkan lembaga atau institusi penyetaraan. "Bahasa lainnya muadalah."
Ia optimistis, tahun ini lembaga penyetaraan akan terbentuk dan tahun ini pula bisa dilaksanakan. "Saat ini kita akan membicarakan dengan Kementerian Agama (Kemenag). Akan tetapi, yang jelas pendidikan itu yang paling bertanggung jawab ialah Kemendiknas."
Terkait hal ini Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag Choirul Fuad Yusuf menjelaskan, mekanisme penyetaraan itu dilakukan dengan memberlakukan ujian nasional di ponpes. Tetapi, komposisi mata pelajaran yang diujikan tidak sama dengan lembaga pendidikan formal seperti madrasah. Sebanyak 85 persen mata pelajaran yang diujikan adalah pelajaran agama yang merupakan kurikulum ponpes yang bersangkutan.
"Sedangkan sisanya adalah mata pelajaran wajib nasional di antaranya bahasa Indonesia, matematika, dan pendidikan kewarganegaraan," kata Choirul kepada Republika, Kamis (17/2).
Menurutnya, upaya penyetaraan mesti dilaksanakan secara bertahap. Sebab, ponpes di Tanah Air yang saat ini berjumlah sekitar 24 ribu, memiliki tingkat kualitas dan model lembaga yang berbeda-beda. Di sinilah, diperlukan standar pendidikan agama Islam yang salah satunya mengatur kriteria kompetensi santri di ponpes. "Namun, ponpes tetap diberi keleluasaan untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan karakter masing-masing lembaga," kata Choirul. (rep/nashih)
Sumber : Kemenag RI
Hal tersebut dikemukakan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Muhammad Nuh, Rabu (16/2). "Kalau dilihat pada Undang-Undang Sisdiknas, namanya pendidikan itu ada umum dan keagamaan dan masuk dalam rumah besar sistem pendidikan nasional. Akan tetapi, kenyataan di lapangan sering terjadi diskriminasi."
Diskriminasi itu, menurutnya, terjadi ketika lulusan pesantren yang sudah bertahun-tahun mendapat pendidikan, tak bisa disetarakan dengan pendidikan umum. Hal ini terjadi karena pendidikan keagamaan belum memiliki standar atau standardisasi. "Kalau lulus pesantren tidak punya ijazah mau disetarakan dengan apa, SD, SMP, atau SMA?`` katanya.
Karena itu, pemerintah akan menyiapkan lembaga atau institusi penyetaraan. "Bahasa lainnya muadalah."
Ia optimistis, tahun ini lembaga penyetaraan akan terbentuk dan tahun ini pula bisa dilaksanakan. "Saat ini kita akan membicarakan dengan Kementerian Agama (Kemenag). Akan tetapi, yang jelas pendidikan itu yang paling bertanggung jawab ialah Kemendiknas."
Terkait hal ini Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag Choirul Fuad Yusuf menjelaskan, mekanisme penyetaraan itu dilakukan dengan memberlakukan ujian nasional di ponpes. Tetapi, komposisi mata pelajaran yang diujikan tidak sama dengan lembaga pendidikan formal seperti madrasah. Sebanyak 85 persen mata pelajaran yang diujikan adalah pelajaran agama yang merupakan kurikulum ponpes yang bersangkutan.
"Sedangkan sisanya adalah mata pelajaran wajib nasional di antaranya bahasa Indonesia, matematika, dan pendidikan kewarganegaraan," kata Choirul kepada Republika, Kamis (17/2).
Menurutnya, upaya penyetaraan mesti dilaksanakan secara bertahap. Sebab, ponpes di Tanah Air yang saat ini berjumlah sekitar 24 ribu, memiliki tingkat kualitas dan model lembaga yang berbeda-beda. Di sinilah, diperlukan standar pendidikan agama Islam yang salah satunya mengatur kriteria kompetensi santri di ponpes. "Namun, ponpes tetap diberi keleluasaan untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan karakter masing-masing lembaga," kata Choirul. (rep/nashih)
Sumber : Kemenag RI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar