Allah
subhanahu wa ta'ala berfirman yang artinya, Maka shalatlah untuk Rabbmu dan
sembelihlah hewan." (QS. Al Kautsar: 2). Syaikh Abdullah Alu Bassaam
mengatakan, "Sebagian ulama ahli tafsir mengatakan; Yang dimaksud dengan
menyembelih hewan adalah menyembelih hewan qurban setelah shalat Ied".
Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman yang artinya, Maka shalatlah untuk Rabbmu dan sembelihlah hewan.”
(QS. Al Kautsar: 2). Syaikh Abdullah Alu Bassaam mengatakan, “Sebagian ulama
ahli tafsir mengatakan; Yang dimaksud dengan menyembelih hewan adalah
menyembelih hewan qurban setelah shalat Ied”. Pendapat ini dinukilkan dari
Qatadah, Atha’ dan Ikrimah (Taisirul ‘Allaam, 534 Taudhihul Ahkaam,
IV/450. Lihat juga Shahih Fiqih Sunnah II/366). Dalam istilah ilmu fiqih
hewan qurban biasa disebut dengan nama Al Udh-hiyah yang bentuk jamaknya
Al Adhaahi (dengan huruf ha’ tipis)
Pengertian Udh-hiyah
Udh-hiyah adalah hewan ternak yang
disembelih pada hari Iedul Adha dan hari Tasyriq dalam rangka mendekatkan diri
kepada Allah karena datangnya hari raya tersebut (lihat Al Wajiz, 405
dan Shahih Fiqih Sunnah II/366)
Keutamaan Qurban
Menyembelih qurban termasuk amal
salih yang paling utama. Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu’anha menceritakan
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah anak
Adam melakukan suatu amalan pada hari Nahr (Iedul Adha) yang lebih dicintai
oleh Allah melebihi mengalirkan darah (qurban), maka hendaknya kalian merasa
senang karenanya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim dengan sanad
sahih, lihat Taudhihul Ahkam, IV/450)
Hadis di atas didhaifkan oleh Syaikh
Al Albani (dhaif Ibn Majah, 671). Namun kegoncangan hadis di atas tidaklah
menyebabkan hilangnya keutamaan berqurban. Banyak ulama menjelaskan bahwa menyembelih hewan qurban
pada hari idul Adlha lebih utama dari pada sedekah yang senilai atau harga
hewan qurban atau bahkan sedekah yang lebih banyak dari pada nilai hewan
qurban. Karena maksud terpenting dalam berqurban adalah mendekatkan diri kepada
Allah. Disamping itu, menyembelih qurban lebih menampakkan syi’ar islam dan
lebih sesuai dengan sunnah (lihat Shahih Fiqh Sunnah 2/379 & Syarhul
Mumthi’ 7/521).
Hukum Qurban
Dalam hal ini para ulama terbagi
dalam dua pendapat:
Pertama, wajib bagi orang yang berkelapangan. Ulama yang
berpendapat demikian adalah Rabi’ah (guru Imam Malik), Al Auza’i, Abu Hanifah,
Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, Laits bin Sa’ad serta sebagian ulama
pengikut Imam Malik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah.
Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: “Pendapat yang menyatakan wajib itu tampak
lebih kuat dari pada pendapat yang menyatakan tidak wajib. Akan tetapi hal itu
hanya diwajibkan bagi yang mampu…” (lih. Syarhul Mumti’, III/408)
Diantara dalilnya adalah hadits Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berkelapangan (harta)
namun tidak mau berqurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat
kami.” (HR. Ibnu Majah 3123, Al Hakim 7672 dan dihasankan oleh Syaikh Al
Albani)
Pendapat kedua menyatakan Sunnah Mu’akkadah (ditekankan). Dan ini adalah
pendapat mayoritas ulama yaitu Malik, Syafi’i, Ahmad, Ibnu Hazm dan lain-lain.
Ulama yang mengambil pendapat ini berdalil dengan riwayat dari Abu Mas’ud Al
Anshari radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya aku
sedang tidak akan berqurban. Padahal aku adalah orang yang berkelapangan. Itu
kulakukan karena aku khawatir kalau-kalau tetanggaku mengira qurban itu adalah
wajib bagiku.” (HR. Abdur Razzaq dan Baihaqi dengan sanad shahih). Demikian
pula dikatakan oleh Abu Sarihah, “Aku melihat Abu Bakar dan Umar sementara
mereka berdua tidak berqurban.” (HR. Abdur Razzaaq dan Baihaqi, sanadnya
shahih) Ibnu Hazm berkata, “Tidak ada riwayat sahih dari seorang sahabatpun
yang menyatakan bahwa qurban itu wajib.” (lihat Shahih Fiqih Sunnah,
II/367-368, Taudhihul Ahkaam, IV/454)
Dalil-dalil di atas merupakan dalil
pokok yang digunakan masing-masing pendapat. Jika dijabarkan semuanya
menunjukkan masing-masing pendapat sama kuat. Sebagian ulama memberikan jalan
keluar dari perselisihan dengan menasehatkan: “…selayaknya bagi mereka yang
mampu, tidak meninggalkan berqurban. Karena dengan berqurban akan lebih
menenangkan hati dan melepaskan tanggungan, wallahu a’lam.” (Tafsir
Adwa’ul Bayan, 1120)
Yakinlah…! bagi mereka yang
berqurban, Allah akan segera memberikan ganti biaya qurban yang dia keluarkan.
Karena setiap pagi Allah mengutus dua malaikat, yang satu berdo’a: “Yaa
Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfaq.” Dan yang kedua berdo’a:
“Yaa Allah, berikanlah kehancuran bagi orang yang menahan hartanya (pelit).”
(HR. Al Bukhari 1374 & Muslim 1010).
Hewan yang Boleh Digunakan Untuk Qurban
Hewan qurban hanya boleh dari
kalangan Bahiimatul Al An’aam (hewan ternak tertentu) yaitu onta, sapi
atau kambing dan tidak boleh selain itu. Bahkan sekelompok ulama menukilkan
adanya ijma’ (kesepakatan) bahwasanya qurban tidak sah kecuali dengan
hewan-hewan tersebut (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/369 dan Al Wajiz
406) Dalilnya adalah firman Allah yang artinya, “Dan bagi setiap umat Kami
berikan tuntunan berqurban agar kalian mengingat nama Allah atas rezki yang
dilimpahkan kepada kalian berupa hewan-hewan ternak (bahiimatul an’aam).”
(QS. Al Hajj: 34) Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan, “Bahkan jika seandainya
ada orang yang berqurban dengan jenis hewan lain yang lebih mahal dari pada
jenis ternak tersebut maka qurbannya tidak sah. Andaikan dia lebih memilih
untuk berqurban seekor kuda seharga 10.000 real sedangkan seekor kambing
harganya hanya 300 real maka qurbannya (dengan kuda) itu tidak sah…” (Syarhul
Mumti’, III/409)
Seekor Kambing Untuk Satu Keluarga
Seekor kambing cukup untuk qurban
satu keluarga, dan pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga meskipun
jumlahnya banyak atau bahkan yang sudah meninggal dunia. Sebagaimana hadits Abu
Ayyub radhiyallahu’anhu yang mengatakan, “Pada masa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam seseorang (suami) menyembelih seekor kambing
sebagai qurban bagi dirinya dan keluarganya.” (HR. Tirmidzi dan beliau
menilainya shahih, lihat Minhaajul Muslim, 264 dan 266).
Oleh karena itu, tidak selayaknya
seseorang mengkhususkan qurban untuk salah satu anggota keluarganya tertentu,
misalnya kambing 1 untuk anak si A, kambing 2 untuk anak si B, karunia dan
kemurahan Allah sangat luas maka tidak perlu dibatasi.
Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam berqurban untuk seluruh dirinya dan seluruh umatnya. Suatu ketika
beliau hendak menyembelih kambing qurban. Sebelum menyembelih beliau
mengatakan:”Yaa Allah ini – qurban – dariku dan dari umatku yang tidak
berqurban.” (HR. Abu Daud 2810 & Al Hakim 4/229 dan dishahihkan Syaikh
Al Albani dalam Al Irwa’ 4/349). Berdasarkan hadis ini, Syaikh Ali bin
Hasan Al Halaby mengatakan: “Kaum muslimin yang tidak mampu berqurban,
mendapatkan pahala sebagaimana orang berqurban dari umat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.”
Adapun yang dimaksud: “…kambing
hanya boleh untuk satu orang, sapi untuk tujuh orang, dan onta 10 orang…”
adalah biaya pengadaannya. Biaya pengadaan kambing hanya boleh dari satu orang,
biaya pengadaan sapi hanya boleh dari maksimal tujuh orang dst.
Namun seandainya ada orang yang
hendak membantu shohibul qurban yang kekurangan biaya untuk membeli hewan, maka
diperbolehkan dan tidak mempengaruhi status qurbannya. Dan status bantuan di
sini adalah hadiah bagi shohibul qurban. Apakah harus izin terlebih
dahulu kepada pemilik hewan?
Jawab: Tidak harus, karena dalam transaksi hadiah tidak
dipersyaratkan memberitahukan kepada orang yang diberi sedekah.
Ketentuan Untuk Sapi & Onta
Seekor Sapi dijadikan qurban untuk 7
orang. Sedangkan seekor onta untuk 10 orang. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu
beliau mengatakan, “Dahulu kami penah bersafar bersama Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam lalu tibalah hari raya Iedul Adha maka kami pun berserikat
sepuluh orang untuk qurban seekor onta. Sedangkan untuk seekor sapi kami
berserikat sebanyak tujuh orang.” (Shahih Sunan Ibnu Majah 2536, Al
Wajiz, hal. 406)
Dalam masalah pahala, ketentuan
qurban sapi sama dengan ketentuan qurban kambing. Artinya urunan 7 orang untuk
qurban seekor sapi, pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga dari 7 orang
yang ikut urunan.
Arisan Qurban Kambing?
Mengadakan arisan dalam rangka
berqurban masuk dalam pembahasan berhutang untuk qurban. Karena hakekat arisan
adalah hutang. Sebagian ulama menganjurkan untuk berqurban meskipun harus
hutang. Di antaranya adalah Imam Abu Hatim sebagaimana dinukil oleh Ibn Katsir
dari Sufyan At Tsauri (Tafsir Ibn Katsir, surat Al Hajj:36)(*) Demikian
pula Imam Ahmad dalam masalah aqiqah. Beliau menyarankan agar orang yang tidak
memiliki biaya aqiqah agar berhutang dalam rangka menghidupkan sunnah aqiqah di
hari ketujuh setelah kelahiran.
(*) Sufyan At Tsauri rahimahullah
mengatakan: Dulu Abu Hatim pernah berhutang untuk membeli unta qurban. Beliau
ditanya: “Kamu berhutang untuk beli unta qurban?” beliau jawab: “Saya
mendengar Allah berfirman: لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ (kamu memperoleh kebaikan yang banyak pada unta-unta qurban
tersebut) (QS: Al Hajj:36).”
(lih. Tafsir Ibn Katsir, surat Al Hajj: 36).
Sebagian ulama lain menyarankan
untuk mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban. Di antaranya adalah
Syaikh Ibn Utsaimin dan ulama tim fatwa islamweb.net di bawah pengawasan Dr.
Abdullah Al Faqih (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no. 7198 & 28826). Syaikh
Ibn Utsaimin mengatakan: “Jika orang punya hutang maka selayaknya
mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban.” (Syarhul Mumti’
7/455). Bahkan Beliau pernah ditanya tentang hukum orang yang tidak jadi qurban
karena uangnya diserahkan kepada temannya yang sedang terlilit hutang, dan
beliau jawab: “Jika di hadapkan dua permasalahan antara berqurban atau
melunaskan hutang orang faqir maka lebih utama melunasi hutang, lebih-lebih
jika orang yang sedang terlilit hutang tersebut adalah kerabat dekat.”
(lih. Majmu’ Fatawa & Risalah Ibn Utsaimin 18/144).
Namun pernyataan-pernyataan ulama di
atas tidaklah saling bertentangan. Karena perbedaan ini didasari oleh perbedaan
dalam memandang keadaan orang yang berhutang. Sikap ulama yang menyarankan
untuk berhutang ketika qurban dipahami untuk kasus orang yang keadaanya mudah
dalam melunasi hutang atau kasus hutang yang jatuh temponya masih panjang.
Sedangkan anjuran sebagian ulama untuk mendahulukan pelunasan hutang dari pada
qurban dipahami untuk kasus orang yang kesulitan melunasi hutang atau hutang
yang menuntut segera dilunasi. Dengan demikian, jika arisan qurban kita
golongkan sebagai hutang yang jatuh temponya panjang atau hutang yang mudah
dilunasi maka berqurban dengan arisan adalah satu hal yang baik. Wallahu
a’lam.
Qurban Kerbau?
Para ulama’ menyamakan kerbau dengan
sapi dalam berbagai hukum dan keduanya disikapi sebagai satu jenis (Mausu’ah
Fiqhiyah Quwaithiyah 2/2975). Ada beberapa ulama yang secara tegas
membolehkan berqurban dengan kerbau, dari kalangan Syafi’iyah (lih. Hasyiyah
Al Bajirami) maupun dari Hanafiyah (lih. Al ‘Inayah Syarh Hidayah
14/192 dan Fathul Qodir 22/106). Mereka menganggap keduanya satu jenis.
Syaikh Ibn Al Utasimin pernah
ditanya tentang hukum qurban dengan kerbau.
Pertanyaan:
“Kerbau dan sapi memiliki perbedaan
dalam banyak sifat sebagaimana kambing dengan domba. Namun Allah telah merinci
penyebutan kambing dengan domba tetapi tidak merinci penyebutan kerbau dengan
sapi, sebagaimana disebutkan dalam surat Al An’am 143. Apakah boleh berqurban
dengan kerbau?”
Beliau menjawab:
“Jika hakekat kerbau termasuk sapi
maka kerbau sebagaimana sapi namun jika tidak maka (jenis hewan) yang Allah
sebut dalam alqur’an adalah jenis hewan yang dikenal orang arab, sedangkan
kerbau tidak termasuk hewan yang dikenal orang arab.” (Liqa’ Babil Maftuh 200/27)
Jika pernyataan Syaikh Ibn Utsaimin
kita bawa pada penjelasan ulama di atas maka bisa disimpulkan bahwa qurban
kerbau hukumnya sah, karena kerbau sejenis dengan sapi. Wallahu a’lam.
Urunan Qurban Satu Sekolahan
Terdapat satu tradisi di lembaga
pendidikan di daerah kita, ketika iedul adha tiba sebagian sekolahan
menggalakkan kegiatan latihan qurban bagi siswa. Masing-masing siswa dibebani iuran
sejumlah uang tertentu. Hasilnya digunakan untuk membeli kambing dan disembelih
di hari-hari qurban. Apakah ini bisa dinilai sebagai ibadah qurban?
Perlu dipahami bahwa qurban adalah
salah satu ibadah dalam Islam yang memiliki aturan tertentu sebagaimana yang
digariskan oleh syari’at. Keluar dari aturan ini maka tidak bisa dinilai
sebagai ibadah qurban alias qurbannya tidak sah. Di antara aturan tersebut
adalah masalah pembiayaan. Sebagaimana dipahami di muka, biaya pengadaan untuk
seekor kambing hanya boleh diambilkan dari satu orang. Oleh karena itu kasus
tradisi ‘qurban’ seperti di atas tidak dapat dinilai sebagai qurban.
Berqurban Atas Nama Orang yang Sudah Meninggal?
Berqurban untuk orang yang telah
meninggal dunia dapat dirinci menjadi tiga bentuk:
- Orang yang meninggal bukan sebagai sasaran qurban utama namun statusnya mengikuti qurban keluarganya yang masih hidup. Misalnya seseorang berqurban untuk dirinya dan keluarganya sementara ada di antara keluarganya yang telah meninggal. Berqurban jenis ini dibolehkan dan pahala qurbannya meliputi dirinya dan keluarganya meskipun ada yang sudah meninggal.
- Berqurban khusus untuk orang yang telah meninggal tanpa ada wasiat dari mayit. Sebagian ulama madzhab hambali menganggap ini sebagai satu hal yang baik dan pahalanya bisa sampai kepada mayit, sebagaimana sedekah atas nama mayit (lih. Fatwa Majlis Ulama Saudi no. 1474 & 1765). Namun sebagian ulama’ bersikap keras dan menilai perbuatan ini sebagai satu bentuk bid’ah, mengingat tidak ada tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada riwayat bahwasanya beliau berqurban atas nama Khadijah, Hamzah, atau kerabat beliau lainnya yang mendahului beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Berqurban khusus untuk orang yang meninggal karena mayit pernah mewasiatkan agar keluarganya berqurban untuknya jika dia meninggal. Berqurban untuk mayit untuk kasus ini diperbolehkan jika dalam rangka menunaikan wasiat si mayit. (Dinukil dari catatan kaki Syarhul Mumti’ yang diambil dari Risalah Udl-hiyah Syaikh Ibn Utsaimin 51.
Umur Hewan Qurban
Untuk onta dan sapi: Jabir
meriwayatkan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Janganlah
kalian menyembelih (qurban) kecuali musinnah. Kecuali apabila itu menyulitkan
bagi kalian maka kalian boleh menyembelihdomba jadza’ah.” (Muttafaq ‘alaih)
Musinnah adalah hewan ternak yang
sudah dewasa, dengan rincian:
No.
|
Hewan
|
Umur
minimal
|
1.
|
Onta
|
5
tahun
|
2.
|
Sapi
|
2
tahun
|
3.
|
Kambing jawa
|
1
tahun
|
4.
|
Domba/ kambing gembel
|
6
bulan
(domba Jadza’ah) |
(lihat Shahih Fiqih Sunnah,
II/371-372, Syarhul Mumti’, III/410, Taudhihul Ahkaam, IV/461)
Cacat Hewan Qurban
Cacat hewan qurban dibagi menjadi 3:
Cacat yang menyebabkan tidak sah
untuk berqurban, ada 4 (**):
- Buta sebelah dan jelas sekali kebutaannya: Jika butanya belum jelas – orang yang melihatnya menilai belum buta – meskipun pada hakekatnya kambing tersebut satu matanya tidak berfungsi maka boleh diqurbankan. Demikian pula hewan yang rabun senja. ulama’ madzhab syafi’iyah menegaskan hewan yang rabun boleh digunakan untuk qurban karena bukan termasuk hewan yang buta sebelah matanya.
- Sakit dan tampak sekali sakitnya.
- Pincang dan tampak jelas pincangnya: Artinya pincang dan tidak bisa berjalan normal. Akan tetapi jika baru kelihatan pincang namun bisa berjalan dengan baik maka boleh dijadikan hewan qurban.
- Sangat tua sampai-sampai tidak punya sumsum tulang.
Dan jika ada hewan yang cacatnya
lebih parah dari 4 jenis cacat di atas maka lebih tidak boleh untuk digunakan
berqurban. (lih. Shahih Fiqih Sunnah, II/373 & Syarhul Mumti’
3/294).
Cacat yang menyebabkan makruh untuk
berqurban, ada 2 (***):
- Sebagian atau keseluruhan telinganya terpotong
- Tanduknya pecah atau patah (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/373)
Cacat yang tidak berpengaruh pada
hewan qurban (boleh dijadikan untuk qurban) namun kurang sempurna.
Selain 6 jenis cacat di atas atau
cacat yang tidak lebih parah dari itu maka tidak berpengaruh pada status hewan
qurban. Misalnya tidak bergigi (ompong), tidak berekor, bunting, atau tidak
berhidung. Wallahu a’lam
(lihat Shahih Fiqih Sunnah,
II/373)
(**) Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam ditanya tentang cacat hewan apa yang harus dihindari ketika
berqurban. Beliau menjawab: “Ada empat cacat… dan beliau berisyarat dengan tangannya.”
(HR. Ahmad 4/300 & Abu Daud 2802, dinyatakan Hasan-Shahih oleh Turmudzi).
Sebagian ulama menjelaskan bahwa isyarat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan tangannya ketika menyebutkan empat cacat tersebut menunjukkan bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam membatasi jenis cacat yang terlarang.
Sehingga yang bukan termasuk empat jenis cacat sebagaimana dalam hadis boleh
digunakan sebagai qurban. (Syarhul Mumthi’ 7/464)
(***) Terdapat hadis yang menyatakan
larangan berqurban dengan hewan yang memilki dua cacat, telinga terpotong atau
tanduk pecah. Namun hadisnya dlo’if, sehingga sebagian ulama menggolongkan
cacat jenis kedua ini hanya menyebabkan makruh dipakai untuk qurban. (Syarhul
Mumthi’ 7/470)
Hewan yang Disukai dan Lebih Utama untuk Diqurbankan
Hendaknya hewan yang diqurbankan
adalah hewan yang gemuk dan sempurna. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala yang
artinya, “…barangsiapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah maka
sesungguhnya itu adalah berasal dari ketakwaan hati.” (QS. Al Hajj: 32).
Berdasarkan ayat ini Imam Syafi’i rahimahullah menyatakan bahwa orang
yang berqurban disunnahkan untuk memilih hewan qurban yang besar dan gemuk. Abu
Umamah bin Sahl mengatakan, “Dahulu kami di Madinah biasa memilih hewan yang
gemuk dalam berqurban. Dan memang kebiasaan kaum muslimin ketika itu adalah
berqurban dengan hewan yang gemuk-gemuk.” (HR. Bukhari secara mu’allaq
namun secara tegas dan dimaushulkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Mustakhraj,
sanadnya hasan)
Diantara ketiga jenis hewan qurban
maka menurut mayoritas ulama yang paling utama adalah berqurban dengan onta,
kemudian sapi kemudian kambing, jika biaya pengadaan masing-masing ditanggung
satu orang (bukan urunan). Dalilnya adalah jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam ketika ditanya oleh Abu Dzar radhiallahu ‘anhu tentang
budak yang lebih utama. Beliau bersabda, “Yaitu budak yang lebih mahal dan
lebih bernilai dalam pandangan pemiliknya” (HR. Bukhari dan Muslim). (lihat
Shahih Fiqih Sunnah, II/374)
Manakah yang Lebih Baik, Ikut Urunan Sapi atau Qurban Satu Kambing?
Sebagian ulama menjelaskan qurban
satu kambing lebih baik dari pada ikut urunan sapi atau onta, karena tujuh
kambing manfaatnya lebih banyak dari pada seekor sapi (lih. Shahih Fiqh
Sunnah, 2/375, Fatwa Lajnah Daimah no. 1149 & Syarhul Mumthi’
7/458). Disamping itu, terdapat alasan lain diantaranya:
- Qurban yang sering dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utuh satu ekor, baik kambing, sapi, maupun onta, bukan 1/7 sapi atau 1/10 onta.
- Kegiatan menyembelihnya lebih banyak. Lebih-lebih jika hadis yang menyebutkan keutamaan qurban di atas statusnya shahih. Hal ini juga sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh penulis kitab Al Muhadzab Al Fairuz Abadzi As Syafi’i. (lih. Al Muhadzab 1/74)
- Terdapat sebagian ulama yang melarang urunan dalam berqurban, diantaranya adalah Mufti Negri Saudi Syaikh Muhammad bin Ibrahim (lih. Fatwa Lajnah 11/453). Namun pelarangan ini didasari dengan qiyas (analogi) yang bertolak belakang dengan dalil sunnah, sehingga jelas salahnya.
Apakah Harus Jantan?
Tidak ada ketentuan jenis kelamin
hewan qurban. Boleh jantan maupun betina. Dari Umu Kurzin radliallahu ‘anha,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aqiqah untuk
anal laki-laki dua kambing dan anak perempuan satu kambing. Tidak jadi masalah
jantan maupun betina.” (HR. Ahmad 27900 & An Nasa’i 4218 dan
dishahihkan Syaikh Al Albani). Berdasarkan hadis ini, Al Fairuz Abadzi As
Syafi’i mengatakan: “Jika dibolehkan menggunakan hewan betina ketika aqiqah
berdasarkan hadis ini, menunjukkan bahwa hal ini juga boleh untuk berqurban.”
(Al Muhadzab 1/74)
Namun umumnya hewan jantan itu lebih
baik dan lebih mahal dibandingkan hewan betina. Oleh karena itu, tidak harus
hewan jantan namun diutamakan jantan.
Larangan Bagi yang Hendak Berqurban
Orang yang hendak berqurban dilarang
memotong kuku
dan memotong rambutnya (yaitu orang yang hendak qurban bukan hewan qurbannya).
Dari Ummu Salamah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau
bersabda, “Apabila engkau telah memasuki sepuluh hari pertama (bulan
Dzulhijjah) sedangkan diantara kalian ingin berqurban maka janganlah dia
menyentuh sedikitpun bagian dari rambut dan kulitnya.” (HR. Muslim).
Larangan tersebut berlaku untuk cara apapun dan untuk bagian manapun, mencakup
larangan mencukur gundul atau sebagian saja, atau sekedar mencabutinya. Baik rambut
itu tumbuh di kepala, kumis, sekitar kemaluan maupun di ketiak (lihat Shahih
Fiqih Sunnah, II/376).
Apakah larangan ini hanya berlaku
untuk kepala keluarga ataukah berlaku juga untuk anggota
keluarga shohibul qurban?
Jawab: Larangan ini hanya berlaku untuk kepala keluarga (shohibul
qurban) dan tidak berlaku bagi anggota keluarganya. Karena 2 alasan:
- Dlahir hadis menunjukkan bahwa larangan ini hanya berlaku untuk yang mau berqurban.
- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering berqurban untuk dirinya dan keluarganya. Namun belum ditemukan riwayat bahwasanya beliau menyuruh anggota keluarganya untuk tidak memotong kuku maupun rambutnya. (Syarhul Mumti’ 7/529)
Waktu Penyembelihan
Waktu penyembelihan qurban adalah
pada hari Iedul Adha dan 3 hari sesudahnya (hari tasyriq). Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap hari taysriq adalah (hari) untuk
menyembelih (qurban).” (HR. Ahmad dan Baihaqi) Tidak ada perbedaan waktu
siang ataupun malam. Baik siang maupun malam sama-sama dibolehkan. Namun menurut
Syaikh Al Utsaimin, melakukan penyembelihan di waktu siang itu lebih baik. (Tata
Cara Qurban Tuntunan Nabi, hal. 33). Para ulama sepakat bahwa penyembelihan
qurban tidak boleh dilakukan sebelum terbitnya fajar di hari Iedul Adha. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat
Ied maka sesungguhnya dia menyembelih untuk dirinya sendiri (bukan qurban). Dan
barangsiapa yang menyembelih sesudah shalat itu maka qurbannya sempurna dan dia
telah menepati sunnahnya kaum muslimin.” (HR. Bukhari dan Muslim) (lihat Shahih
Fiqih Sunnah, II/377)
Tempat Penyembelihan
Tempat yang disunnahkan untuk
menyembelih adalah tanah lapangan tempat shalat ‘ied diselenggarakan. Terutama
bagi imam/penguasa/tokoh masyarakat, dianjurkan untuk menyembelih qurbannya di
lapangan dalam rangka memberitahukan kepada kaum muslimin bahwa qurban sudah
boleh dilakukan dan mengajari tata cara qurban yang baik. Ibnu ‘Umar
mengatakan, “Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
menyembelih kambing dan onta (qurban) di lapangan tempat shalat.” (HR.
Bukhari 5552).
Dan dibolehkan untuk menyembelih
qurban di tempat manapun yang disukai, baik di rumah sendiri ataupun di tempat
lain. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/378)
Penyembelih Qurban
Disunnahkan bagi shohibul qurban
untuk menyembelih hewan qurbannya sendiri namun boleh diwakilkan kepada orang
lain. Syaikh Ali bin Hasan mengatakan: “Saya tidak mengetahui adanya
perbedaan pendapat di kalangan ulama’ dalam masalah ini.” Hal ini
berdasarkan hadits Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu di dalam Shahih
Muslim yang menceritakan bahwa pada saat qurban Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah menyembelih beberapa onta qurbannya dengan tangan
beliau sendiri kemudian sisanya diserahkan kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu
‘anhu untuk disembelih. (lih. Ahkaamul Idain, 32)
Tata Cara Penyembelihan
- Sebaiknya pemilik qurban menyembelih hewan qurbannya sendiri.
- Apabila pemilik qurban tidak bisa menyembelih sendiri maka sebaiknya dia ikut datang menyaksikan penyembelihannya.
- Hendaknya memakai alat yang tajam untuk menyembelih.
- Hewan yang disembelih dibaringkan di atas lambung kirinya dan dihadapkan ke kiblat. Kemudian pisau ditekan kuat-kuat supaya cepat putus.
- Ketika akan menyembelih disyari’akan membaca “Bismillaahi wallaahu akbar” ketika menyembelih. Untuk bacaan bismillah (tidak perlu ditambahi Ar Rahman dan Ar Rahiim) hukumnya wajib menurut Imam Abu Hanifah, Malik dan Ahmad, sedangkan menurut Imam Syafi’i hukumnya sunnah. Adapun bacaan takbir – Allahu akbar – para ulama sepakat kalau hukum membaca takbir ketika menyembelih ini adalah sunnah dan bukan wajib. Kemudian diikuti bacaan:
- hadza minka wa laka.” (HR. Abu Dawud 2795) Atau
- hadza minka wa laka ‘anni atau ‘an fulan (disebutkan nama shahibul qurban).” atau
- Berdoa agar Allah menerima qurbannya dengan doa, “Allahumma taqabbal minni atau min fulan (disebutkan nama shahibul qurban)” (lih. Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, hal. 92)Catatan: Tidak terdapat do’a khusus yang panjang bagi shohibul qurban ketika hendak menyembelih. Wallahu a’lam.
Bolehkah Mengucapkan Shalawat Ketika Menyembelih?
Tidak boleh mengucapkan shalawat
ketika hendak menyembelih, karena 2 alasan:
- Tidak terdapat dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan shalawat ketika menyembelih. Sementara beribadah tanpa dalil adalah perbuatan bid’ah.
- Bisa jadi orang akan menjadikan nama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai wasilah ketika qurban. Atau bahkan bisa jadi seseorang membayangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyembelih, sehingga sembelihannya tidak murni untuk Allah. (lih. Syarhul Mumti’ 7/492)
Pemanfaatan Hasil Sembelihan
- Dimakan sendiri dan keluarganya, bahkan sebagian ulama menyatakan shohibul qurban wajib makan bagian hewan qurbannya. Termasuk dalam hal ini adalah berqurban karena nadzar menurut pendapat yang benar.
- Disedekahkan kepada orang yang membutuhkan
- Dihadiahkan kepada orang yang kaya
- Disimpan untuk bahan makanan di lain hari. Namun penyimpanan ini hanya dibolehkan jika tidak terjadi musim paceklik atau krisis makanan.
Dari Salamah bin Al Akwa’ dia
berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
diantara kalian yang berqurban maka jangan sampai dia menjumpai subuh hari
ketiga sesudah Ied sedangkan dagingnya masih tersisa walaupun sedikit.”
Ketika datang tahun berikutnya maka para sahabat mengatakan, “Wahai
Rasulullah, apakah kami harus melakukan sebagaimana tahun lalu ?” Maka
beliau menjawab, “(Adapun sekarang) Makanlah sebagian, sebagian lagi berikan
kepada orang lain dan sebagian lagi simpanlah. Pada tahun lalu masyarakat
sedang mengalami kesulitan (makanan) sehingga aku berkeinginan supaya kalian
membantu mereka dalam hal itu.” (HR. Bukhari dan Muslim). Menurut mayoritas
ulama perintah yang terdapat dalam hadits ini menunjukkan hukum sunnah, bukan
wajib (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/378). Oleh sebab itu, boleh
mensedekahkan semua hasil sembelihan qurban. Sebagaimana diperbolehkan untuk
tidak menghadiahkannya (kepada orang kaya, ed.) sama sekali kepada orang lain (Minhaajul
Muslim, 266). (artinya hanya untuk shohibul qurban dan sedekah pada orang
miskin, ed.)
Bolehkah Memberikan Daging Qurban Kepada Orang Kafir?
Ulama madzhab Malikiyah berpendapat
makruhnya memberikan daging qurban kepada orang kafir,
sebagaimana kata Imam Malik: “(diberikan) kepada selain mereka (orang kafir)
lebih aku sukai.” Sedangkan syafi’iyah berpendapat haramnya memberikan
daging qurban kepada orang kafir untuk qurban yang wajib (misalnya qurban
nadzar, pen.) dan makruh untuk qurban yang sunnah. (lih. Fatwa Syabakah
Islamiyah no. 29843). Al Baijuri As Syafi’I mengatakan: “Dalam Al Majmu’
(Syarhul Muhadzab) disebutkan, boleh memberikan sebagian qurban sunnah kepada
kafir dzimmi yang faqir. Tapi ketentuan ini tidak berlaku untuk qurban yang
wajib.” (Hasyiyah Al Baijuri 2/310)
Lajnah Daimah (Majlis Ulama’ saudi
Arabia) ditanya tentang bolehkah memberikan daging qurban kepada orang kafir.
Jawaban Lajnah:
“Kita dibolehkan memberi daging
qurban kepada orang kafir Mu’ahid (****) baik karena statusnya sebagai orang
miskin, kerabat, tetangga, atau karena dalam rangka menarik simpati mereka…
namun tidak dibolehkan memberikan daging qurban kepada orang kafir Harby,
karena kewajiban kita kepada kafir harby adalah merendahkan mereka dan
melemahkan kekuatan mereka. Hukum ini juga berlaku untuk pemberian sedekah. Hal
ini berdasarkan keumuman firman Allah:
“Allah tidak melarang kamu untuk
berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu
karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah 8)
Demikian pula Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan Asma’ binti Abu Bakr radhiallahu ‘anhu
untuk menemui ibunya dengan membawa harta padahal ibunya masih musyrik.” (Fatwa Lajnah Daimah no. 1997).
Kesimpulannya, memberikan bagian
hewan qurban kepada orang kafir dibolehkan karena status hewan qurban sama
dengan sedekah atau hadiah, dan diperbolehkan memberikan sedekah maupun hadiah
kepada orang kafir. Sedangkan pendapat yang melarang adalah pendapat yang tidak
kuat karena tidak berdalil.
(****) Kafir Mu’ahid: Orang kafir yang mengikat perjanjian damai dengan kaum
muslimin. Termasuk orang kafir mu’ahid adalah orang kafir yang masuk ke negeri
islam dengan izin resmi dari pemerintah. Kafir Harby: Orang kafir yang
memerangi kaum muslimin. Kafir Dzimmi: Orang kafir yang hidup di bawah
kekuasaan kaum muslimin.
Larangan Memperjual-Belikan Hasil Sembelihan
Tidak diperbolehkan
memperjual-belikan bagian hewan sembelihan, baik daging, kulit, kepala, teklek,
bulu, tulang maupun bagian yang lainnya. Ali bin Abi Thalib radhiallahu
‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan aku untuk mengurusi penyembelihan onta qurbannya. Beliau juga
memerintahkan saya untuk membagikan semua kulit tubuh serta kulit punggungnya.
Dan saya tidak diperbolehkan memberikan bagian apapun darinya kepada tukang
jagal.” (HR. Bukhari dan Muslim). Bahkan terdapat ancaman keras dalam
masalah ini, sebagaimana hadis berikut:
من باع
جلد
أضحيته
فلا
أضحية
له
Dari Abu Hurairah radhiallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang
siapa yang menjual kulit hewan qurbannya maka ibadah qurbannya tidak ada
nilainya.” (HR. Al Hakim 2/390 & Al Baihaqi. Syaikh Al Albani
mengatakan: Hasan)
Tetang haramnya pemilik hewan
menjual kulit qurban merupakan pendapat mayoritas ulama, meskipun Imam Abu
Hanifah menyelisihi mereka. Namun mengingat dalil yang sangat tegas dan jelas
maka pendapat siapapun harus disingkirkan.
Catatan:
- Termasuk memperjual-belikan bagian hewan qurban adalah menukar kulit atau kepala dengan daging atau menjual kulit untuk kemudian dibelikan kambing. Karena hakekat jual-beli adalah tukar-menukar meskipun dengan selain uang.
- Transaksi jual-beli kulit hewan qurban yang belum dibagikan adalah transaksi yang tidak sah. Artinya penjual tidak boleh menerima uang hasil penjualan kulit dan pembeli tidak berhak menerima kulit yang dia beli. Hal ini sebagaimana perkataan Al Baijuri: “Tidak sah jual beli (bagian dari hewan qurban) disamping transaksi ini adalah haram.” Beliau juga mengatakan: “Jual beli kulit hewan qurban juga tidak sah karena hadis yang diriwayatkan Hakim (baca: hadis di atas).” (Fiqh Syafi’i 2/311).
- Bagi orang yang menerima kulit dibolehkan memanfaatkan kulit sesuai keinginannya, baik dijual maupun untuk pemanfaatan lainnya, karena ini sudah menjadi haknya. Sedangkan menjual kulit yang dilarang adalah menjual kulit sebelum dibagikan (disedekahkan), baik yang dilakukan panitia maupun shohibul qurban.
Larangan Mengupah Jagal Dengan Bagian Hewan Sembelihan
Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu
‘anhu bahwa “Beliau pernah diperintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam untuk mengurusi penyembelihan ontanya dan agar membagikan seluruh bagian
dari sembelihan onta tersebut, baik yang berupa daging, kulit tubuh maupun
pelana. Dan dia tidak boleh memberikannya kepada jagal barang sedikitpun.”
(HR. Bukhari dan Muslim) dan dalam lafaz lainnya beliau berkata, “Kami
mengupahnya dari uang kami pribadi.” (HR. Muslim). Danini merupakan
pendapat mayoritas ulama (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/379)
Syaikh Abdullah Al Bassaam
mengatakan, “Tukang jagal tidak boleh diberi daging atau kulitnya sebagai
bentuk upah atas pekerjaannya. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Yang
diperbolehkan adalah memberikannya sebagai bentuk hadiah jika dia termasuk
orang kaya atau sebagai sedekah jika ternyata dia adalah miskin…..” (Taudhihul
Ahkaam, IV/464). Pernyataan beliau semakna dengan pernyataan Ibn Qosim yang
mengatakan: “Haram menjadikan bagian hewan qurban sebagai upah bagi jagal.”
Perkataan beliau ini dikomentari oleh Al Baijuri: “Karena hal itu (mengupah
jagal) semakna dengan jual beli. Namun jika jagal diberi bagian dari qurban
dengan status sedekah bukan upah maka tidak haram.” (Hasyiyah Al Baijuri
As Syafi’i 2/311).
Adapun bagi orang yang memperoleh
hadiah atau sedekah daging qurban diperbolehkan memanfaatkannya sekehendaknya,
bisa dimakan, dijual atau yang lainnya. Akan tetapi tidak diperkenankan
menjualnya kembali kepada orang yang memberi hadiah atau sedekah kepadanya (Tata
Cara Qurban Tuntunan Nabi, 69)
Menyembelih Satu Kambing Untuk Makan-Makan Panitia? Atau Panitia
Dapat Jatah Khusus?
Status panitia maupun jagal dalam
pengurusan hewan qurban adalah sebagai wakil dari shohibul qurban dan bukan
amil (*****). Karena statusnya hanya sebagai wakil maka panitia qurban tidak
diperkenankan mengambil bagian dari hewan qurban sebagai ganti dari jasa
dalam mengurusi hewan qurban. Untuk lebih memudahkan bisa diperhatikan
ilustrasi kasus berikut:
Adi ingin mengirim uang Rp 1 juta
kepada Budi. Karena tidak bisa ketemu langsung maka Adi mengutus Rudi untuk
mengantarkan uang tersebut kepada Budi. Karena harus ada biaya transport dan
biaya lainnya maka Adi memberikan sejumlah uang kepada Rudi. Bolehkah uang ini
diambilkan dari uang Rp 1 juta yang akan dikirimkan kepada Budi?? Semua orang
akan menjawab: “TIDAK BOLEH KARENA BERARTI MENGURANGI UANGNYA BUDI.”
Status Rudi pada kasus di atas
hanyalah sebagai wakil Adi. Demikian pula qurban. Status panitia
hanya sebagai wakil pemilik hewan, sehingga dia tidak boleh mengambil bagian
qurban sebagai ganti dari jasanya. Oleh karena itu, jika menyembelih satu
kambing untuk makan-makan panitia, atau panitia dapat jatah khusus sebagai
ganti jasa dari kerja yang dilakukan panitia maka ini tidak diperbolehkan.
(*****) Sebagian orang menyamakan
status panitia qurban sebagaimana status amil dalam zakat. Bahkan mereka
meyebut panitia qurban dengan ‘amil qurban’. Akibatnya mereka beranggapan
panitia memiliki jatah khusus dari hewan qurban sebagaimana amil zakat memiliki
jatah khusus dari harta zakat. Yang benar, amil zakat tidaklah sama dengan
panitia pengurus qurban. Karena untuk bisa disebut amil, harus memenuhi
beberapa persyaratan. Sementara pengurus qurban hanya sebatas wakil dari
shohibul qurban, sebagaimana status sahabat Ali radhiallahu ‘anhu dalam
mengurusi qurban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidak ada
riwayat Ali radhiallahu ‘anhu mendapat jatah khusus dari qurbannya Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Nasehat & Solusi Untuk Masalah Kulit
Satu penyakit kronis yang menimpa
ibadah qurban kaum muslimin bangsa kita, mereka tidak bisa lepas dari ‘fiqh
praktis’ menjual kulit atau menggaji jagal dengan kulit. Memang kita akui ini
adalah jalan pintas yang paling cepat untuk melepaskan diri dari tanggungan
mengurusi kulit. Namun apakah jalan pintas cepat ini menjamin keselamatan???
Bertaqwalah kepada Allah wahai kaum muslimin… sesungguhnya ibadah qurban telah
diatur dengan indah dan rapi oleh Sang Peletak Syari’ah. Jangan coba-coba untuk
keluar dari aturan ini karena bisa jadi qurban kita tidak sah. Berusahalah
untuk senantiasa berjalan sesuai syari’at meskipun jalurnya ‘kelihatannya’
lebih panjang dan sedikit menyibukkan. Jangan pula terkecoh dengan pendapat
sebagian orang, baik ulama maupun yang ngaku-ngaku ulama, karena orang
yang berhak untuk ditaati secara mutlak hanya satu yaitu Nabi kita Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Maka semua pendapat yang bertentangan dengan hadis
beliau harus dibuang jauh-jauh.
Tidak perlu bingung dan merasa
repot. Bukankah Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu pernah mengurusi
qurbannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang jumlahnya 100 ekor
onta?! Tapi tidak ada dalam catatan sejarah Ali bin Abi thalib radhiallahu
‘anhu bingung ngurusi kulit dan kepala. Demikianlah kemudahan yang Allah
berikan bagi orang yang 100% mengikuti aturan syari’at. Namun bagi mereka
(baca: panitia) yang masih merasa bingung ngurusi kulit, bisa dilakukan
beberapa solusi berikut:
- Kumpulkan semua kulit, kepala, dan kaki hewan qurban. Tunjuk sejumlah orang miskin sebagai sasaran penerima kulit. Tidak perlu diantar ke rumahnya, tapi cukup hubungi mereka dan sampaikan bahwa panitia siap menjualkan kulit yang sudah menjadi hak mereka. Dengan demikian, status panitia dalam hal ini adalah sebagai wakil bagi pemilik kulit untuk menjualkan kulit, bukan wakil dari shohibul qurban dalam menjual kulit.
- Serahkan semua atau sebagian kulit kepada yayasan islam sosial (misalnya panti asuhan atau pondok pesantren). (Terdapat Fatwa Lajnah yang membolehkan menyerahkan bagian hewan qurban kepada yayasan).
Mengirim sejumlah uang untuk
dibelikan hewan qurban di tempat tujuan (di luar daerah pemilik hewan) dan
disembelih di tempat tersebut? atau mengirimkan hewan hidup ke tempat lain
untuk di sembelih di sana?
Pada asalnya tempat menyembelih
qurban adalah daerah orang yang berqurban. Karena orang-orang yang miskin di
daerahnya itulah yang lebih berhak untuk disantuni. Sebagian syafi’iyah
mengharamkan mengirim hewan qurban atau uang untuk membeli hewan qurban ke tempat
lain – di luar tempat tinggal shohibul qurban – selama tidak ada maslahat yang
menuntut hal itu, seperti penduduk tempat shohibul qurban yang sudah kaya
sementara penduduk tempat lain sangat membutuhkan. Sebagian ulama membolehkan
secara mutlak (meskipun tidak ada tuntutan maslahat). Sebagai jalan keluar dari
perbedaan pendapat, sebagian ulama menasehatkan agar tidak mengirim hewan
qurban ke selain tempat tinggalnya. Artinya tetap disembelih di daerah shohibul
qurban dan yang dikirim keluar adalah dagingnya. (lih. Fatwa Syabakah
Islamiyah no. 2997, 29048, dan 29843 & Shahih Fiqih Sunnah,
II/380
Kesimpulannya, berqurban dengan
model seperti ini (mengirim hewan atau uang dan bukan daging) termasuk qurban
yang sah namun menyelisihi sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
karena tiga hal:
- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radiallahu ‘anhum tidak pernah mengajarkannya
- Hilangnya sunnah anjuran untuk disembelih sendiri oleh shohibul qurban
- Hilangnya sunnah anjuran untuk makan bagian dari hewan qurban.
Wallaahu waliyut taufiq.
Bagi para pembaca yang ingin membaca
penjelasan yang lebih lengkap dan memuaskan silakan baca buku Tata Cara
Qurban Tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
diterjemahkan Ustadz Aris Munandar hafizhahullah dari Talkhish Kitab
Ahkaam Udh-hiyah wadz Dzakaah karya Syaikh Al Utsaimin rahimahullah,
penerbit Media Hidayah. Semoga risalah yang ringkas sebagai pelengkap untuk
tulisan saudaraku Abu Muslih hafizhahullah ini bermanfaat dan menjadi
amal yang diterima oleh Allah ta’ala, sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Maha
Mulia. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam, serta seluruh pengikut beliau yang setia. Alhamdulillaahi
Rabbil ‘aalamiin.
Yogyakarta, 1 Dzul hijjah 1428
Keutamaan Tanggal 1 Sampai 10 Dzul Hijjah
Dari Ibn Abbas radhiallahu ‘anhu
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ما من
أيّام
العمل
الصّالح فيها
أحبّ
إلى
اللّه
من
هذه
الأيّام – يعني
أيّام
العشر
– قالوا
: يا
رسول
اللّه
ولا
الجهاد
في
سبيل
اللّه
؟
قال
: ولا
الجهاد
في
سبيل
اللّه
،
إلاّ
رجل
خرج
بنفسه
وماله
،
فلم
يرجع
من
ذلك
بشيء.
“Tidak ada satu amal sholeh yang
lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan selama 10 hari
pertama bulan Dzul Hijjah.” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad?” Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak pula jihad, kecuali orang yang
berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.”
(HR. Abu Daud & dishahihkan Syaikh Al Albani)
Berdasarkan hadis tersebut, ulama’
sepakat dianjurkannya berpuasa selama 8 hari pertama bulan Dzul hijjah. Dan
lebih ditekankan lagi pada tanggal 9 Dzul Hijjah (Hari ‘Arafah)
Diceritakan oleh Al Mundziri dalam
At Targhib (2/150) bahwa Sa’id bin Jubair (Murid terbaik Ibn Abbas) ketika
memasuki tanggal satu Dzul Hijjah, beliau sangat bersungguh-sungguh dalam
beribadah sampai hampir tidak bisa mampu melakukannya.
Bagaimana dengan Puasa Hari Tarwiyah (8 Dzul Hijjah) Secara Khusus?
Terdapat hadis yang menyatakan: “Orang
yang berpuasa pada hari tarwiyah maka baginya pahala puasa satu tahun.” Namun
hadis ini hadits palsu sebagaimana ditegaskan oleh Ibnul Zauzy (Al
Maudhu’at 2/198), As Suyuthi (Al Masnu’ 2/107), As Syaukani (Al
Fawaidul Majmu’ah).
Oleh karena itu, tidak perlu berniat
khusus untuk berpuasa pada tanggal 8 Dzul Hijjah karena hadisnya dhaif. Namun
jika berpuasa karena mengamalkan keumuman hadis shahih di atas maka
diperbolehkan. (disarikan dari Fatwa Yas-aluunaka, Syaikh Hissamuddin
‘Affaanah). Wallaahu a’lam.
***
Penulis: Ammi Nur Baits
Artikel www.muslim.or.id
Artikel ini merupakan tulisan yang melengkapi artikel tentang Fiqh Qurban yang ditulis Al Akh Al Fadhil Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Artikel ini merupakan tulisan yang melengkapi artikel tentang Fiqh Qurban yang ditulis Al Akh Al Fadhil Abu Mushlih Ari Wahyudi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar